Di Suatu Hari

Kita sama-sama pernah menangis. tidak sekali juga kita sama-sama tertawa. kau dan aku adalah sepasang manusia yang ditakdirkan untuk mencicipi rasa-rasa indah dan air mata

Rindu

gambarnya ku dapat dari Google, quotesnya dari truk

menurutku supir truk atau siapapun orang yang menghias truknya, adalah seorang seniman sejati. betapa tidak, mereka bisa membuat gambar-gambar lengkap dengan kalimat-kalimat maha saktinya yang luar biasa mengocok perut dan takjub. mereka sangat kreatif harus ku akui. semoga kalian pun begitu.

quotes ini adalah salah satu quotes ala supir truk favorit ku. kebetulan beberapa waktu yang lalu, aku dan beberapa kawan pergi ke jakarta untuk mengikuti pameran dan membuka stand sepatu disana. kami disana selama sepekan saja. diguyur panas dan dihantam hujan. jujur saja, aku ingin pulang karena rindu padanya. tapi waktu itu aku malah jatuh pingsan dan kejang-kejang. lalu dibawa ke rumah sakit. niatnya mau cari uang, malah habis buat biaya rumah sakit.

lalu kawan ku bilang,

"pulang malu, tak pulang rindu"

Anggap Saja Puisi

fotoku, dipotret oleh seorang kawan yang lagi sibuk, ku paksa saja :)

Sebenarnya sudah sejak masih duduk di bangku SMP dulu aku sudah gemar menulis. Entah cerpen, novel yang tak kunjung selesai, juga beberapa puisi. Ya, kali ini aku menulis puisi juga. Anggap saja ini puisi. Tak usah pedulikan nilai kesastraannya, karena aku menulisnya berdasarkan apa yang ada di kepala, bukan yang ada di Kamus Besar Bahasa Indonesia, maupun dalam Buku Pelajaran Sastra Indonesia.


            Entahlah, semoga kau tidak membenci kaya-karya tulisku yang biasa saja ini. Karena yang ku tulis ini adalah tentang seseorang.



Lenna

Nona, tolong jelaskan,
Indah itu apa?
Sebab aku tidak melihat
Sebagus yang melekat padamu.

Nona, jangan senyum
Kasihan pelangi
Ia tak kuasa menandingi
Indahnya senyummu

Nona, mengapa kau belum jua terlelap?
Jangan kau tanya kepadaku
Aku sedang sibuk, nona
Memikirkan dan merindukanmu.

Nona, selepas berjumpa denganmu
Aku mulai menyadari,
Ternyata yang indah itu tak hanya pelangi



Seabad

Aku sungguh ingin mencintaimu
Untuk satu tahun ini
Sepertinya aku bisa
Setahun kan? Sudah lewat malah

Aku sungguh ingin mencintaimu
Untuk sepuluh tahun ini
Tapi tidak janji,
Kau belum tentu mau menikah denganku

Aku sungguh ingin mencintaimu
Untuk seratus tahun ini
Tapi tidak janji,
Sepertinya umurku tidak selama itu.



Hujan dan Rindu

Baru saja hujan pergi
Menanggalkan sepercik rindu
Di depan pintu rumahku
Rindu yang berat
Tega sekali meninggalkannya disana
Mungkin juga ia sengaja
Agar, kelak kau datang kemari
Untuk mengambilnya kembali

Kau bilang menyukai hujan
Sebaiknya jangan, sayang
Sebab kau akan kebasahan
Lebih baik kau menyukai aku
Sebab aku, suka padamu

Kau takut, besok kau tak mencintaiku lagi?
Bagaimana bisa kau berfikir seperti itu?
Sedang ku takut, besok ku masih mencintaimu
Saat kau sudah tidak.

Tanpa terasa terang pun mulai turun
Merah sendu itu terkikis oleh langit malam
Seraya sepasukan bintang berhamburan
Merayap di langit bekas hujan
“Apa yang sedang kau lakukan?”
Lekaslah ku jawab,
“Aku sedang menyediakan ruang dan waktu
Untukmu dan pikiranku,
Yang tergabung dalam sebuah rindu”
Kau tersenyum seperti tiada hari esok
Mungkin kau memang sedang cantik-cantiknya.
Sialan, aku terpesona lagi dan lagi!

Sebuah Kisah Dari Telaga Hati

Aku ingat betul, di suatu malam, kau pernah berujar kepadaku. Saat mataku tertangkap basah menyangkut diantara pesonamu. Malam yang lumayan dingin. Malam yang cukup nikmat untuk kita berbincang ditemani dua cangkir cokelat kesukaan kita. Sambil mendengarkan lantunan suara hujan diluar. Kau berujar padaku, lembut.


Kudapat dari google


“Apa yang sedang matamu pikirkan?”

Sejujurnya, aku tidak ingin memberitahumu. Aku khawatir kau jadi besar kepala karenanya. Tapi tak apalah, tinggal ku hangatkan di depan bara api, nanti juga mengecil kembali.

“Kau sungguh ingin tahu?”
“Aku rasa itu bukan jawaban dari pertanyaanku.”

Jawabmu, tidak pernah lupa untuk menambatkan sebaris senyum diatas bibirmu yang mungil guna mempermanis dirimu. Membuatku menjadi gila dan ingin ku kecupi sebanyak-banyaknya.

“Baiklah, akan kuberitahu.”
“Iya.”
“Sebelumnya, apakah kau bisa berenang?”
“Hmm, kurasa tidak. Kenapa kau tanyakan itu?”
“Itu buruk sekali. Sebab, kau saat ini sedang menyelami mataku, lalu berenang di dalam hatiku.”
“Ha ha ha ha, gombalanmu lebih buruk, Keanu!”
“Aku serius! Aku ingin mengingatkan, berhati-hatilah berlayar di hatiku. Arusnya kuat. Jika kurang pandai, kau tak hanya tenggelam, melainkan hanyut bersama aliran cintanya yang kuat.”

Kau tak menjawab dengan kalimat, melainkan lagi-lagi dengan sebuah senyuman. Jawaban macam apa itu? Ku tambahkan saja segera kalimatku.

“Lenna, beberapa waktu yang lalu, aku pernah menyelami hatiku sendiri. Memastikan seberapa dalam dasarnya. Mengukur seberapa kuat arusnya. Ternyata aku tak sanggup mengukurnya. Aku gagal. Aku hanyut dan tenggelam, kau tahu, airnya mengalir dari sebuah hulu yang bermuara di sebuah telaga. Tempat segala keindahan nan bersahabat. Itulah hatimu. Itulah pemilik arus yang kuat, palung yang dalam, dan bergalon-galon air yang besar dari hatiku. Ya, aku menyadarinya. Mencintaimu begitu besar untukku, sehinggaku terhanyut oleh perasaanku sendiri.”

Aku menghela nafas satu dua jenak. Mengumpulkan beberapa pasang kata sambil mempersilahkan waktu melangkah dengan kecepatan yang sudah ditentukan sebelumnya. Lalu aku kembali meneruskan, sementara seluruh organ tubuhmu mendengarkan dengan bijaksana.

“Disana terhampar gunung dan laut, juga langit senja kemerahan yang ranum seperti anggur. Tempat segala keindahan bertengger dengan anggun. Aku mengaguminya.”
“Keanu, kamu terlalu berlebihan menilaiku.”
“Silahkan kau ber-argumen sesukamu. Aku tidak peduli, kau tidak akan sanggup menilai keindahanmu sendiri.”
“Hehehe, lanjutkan ceritamu.”

Ada cokelat yang tak lagi panas di dalam cangkir kita. Sebaiknya ku reguk sedikit untuk membasahi kerongkonganku.

“Kau tahu, aku ingin memilikimu seperti penjajah merebut tanah indah ini dari tangan pribumi. Aku bisa saja menjadi bajingan serakah seperti mereka. Namun, sayang, apalah dayaku? Aku hanya seonggok daging yang hanyut oleh arus dan bermuara dalam pesonamu, tersangkut, lalu terjebak disana.”

Lalu seperti yang kau tahu, selepas kalimat terakhir yang meluncur begitu saja dari bibirku, kau langsung menjatuhkan tubuhmu dalam dadaku. Lenganmu yang putih melingkar di leherku. Begitu hangat. Hingga ku tak sempat mengucapkan kalimat penutup cerita kita malam ini.

Oh, kepalamu tak jadi membesar tenyata setelah mendengar semua ini. Syukurlah.

Bandung dan Dirimu

Apa kabarmu? Semoga kau selalu baik seperti seharusnya. Tempo hari aku mendapatkan tugas untuk keluar kota. Sebuah proyek pekerjaan yang lumayan memeras otak, energi, juga rindu yang banyak. Disela-sela istirahatku disana, aku sedikit menulis surat dalam buku catatanku. Tapi tidak pernah ku kirimkan. Kurang lebih isinya seperti ini :


Kudapat dari google


            “Hari ini, jumat 21 februari 2014, aku sedang duduk di atas bambu yang tak sengaja ku temukan sedang menempel kepada dua tiang yang dinaungi oleh genting-genting berlumut di atasnya. Lumayan, pikirku, seraya berteduh dari sisa gerimis yang menghantam kepalaku perlahan. Aku tak lupa menaruh lelah di atas bambu itu bersama punggungku yang lemas.

            Saat ini hari mulai gelap. Sore pun pamit pergi disambung senja. Ini adalah senja keduaku di Purwakarta. Entah rindu keberapa kalinya ku kepadamu selamaku disini.

            Kau sedang apa disana? Apakah kau menjaga baik-baik kota yang kucinta selagi ku disini? Apakah kau sedang mensyukuri Bandung saat ini sepertiku yang selalu rindu Bandung dan juga dirimu di dalamnya?

            Kau harus tahu, ini adalah perjalanan luar kota pertamaku yang paling berat. Karena sebelumnya, aku tidak pernah mengeluh seperti ini. Sebelum aku mulai dijatuhi cinta kepadamu. Tapi memang, Bandung, tidak kutemukan dimanapun kecuali tepat dibawah kakimu, diantara desah nafasmu, dan sekeliling matamu saat ini.

            Aku ingin pulang, sayang, untuk memeluk Bandung melalui tubuhmu, mencium Bandung melalui pipimu, memandanginya dari dalam matamu.

            Ah, aku sangat rindu Bandung, aku lebih sangat rindu dirimu.”


            Kini kau sudah membacanya. Bagaimana menurutmu? Jangan khawatir, aku masih punya catatan lain tentangmu. Tidak begitu banyak dan tidak begitu indah. Untuk apa bila kau saja sudah cukup indah untukku?