Bacalah
Aku ingin tinggal lebih lama lagi disini. Membentuk sebuah keluarga seperti yang dilakukan oleh ayahku. Sejujurnya, sampai detik ini aku masih tidak tahu siapa jodohku. Sebab katanya itu urusan Tuhan. Aku tidak boleh mencampurinya. Ya, jika sudah turun ke bumi, aku tidak bisa seenaknya naik turun langit begitu saja. Tapi seandainya bisa, aku ingin masuk ke ruang kerja Tuhan. Mengendap-ngendap, menunggu Tuhan ke kamar mandinya, lalu aku menuliskan nama perempuan yang ku inginkan menjadi jodohku.
Bandung, 27 November
Bandung,
tepat 23 tahun yang lalu, seorang anak laki-laki diputuskan untuk turun ke bumi
untuk menjawab harapan kedua orang tuanya yang lebih dulu menetap disana.
Seorang anak laki-laki yang memikul beban besar di pundaknya. Beban harapan.
Setelah melalui perdebatan yang cukup sengit di kubu keluarga, Ibu dan Ayahnya
sepakat memberi ia nama Wisnu Hidayat, walaupun kini ia seenaknya saja menggantinya
menjadi Wisnu Saputra, dengan alasan konyol “nama panggung”. Sia-sialah
perdebatan sengit 23 tahun yang lalu.
Tepat, itulah aku, Wisnu Hidayat atau Wisnu
Saputra, atau temanku yang kadang seenaknya juga memanggilku “Tom Hardy”. Sudah 23 tahun aku menetap di bumi bagian Bandung. Aku betah
tinggal disini. Aku diperbolehkan bergaul dengan utusan-utusan langit lainnya
seperti Derfa, Kris, Tika Keika, Opik, dan lainnya. Aku bisa makan diatas
piring plastik maupun mangkuk sesuka ku.
Tak seperti di langit, harus selalu menggunakan wadah berlapis emas yang ada
ukiran-ukiran aneh di pinggirannya. Aku bisa tidur di sofa ruang tamu sesukaku,
tak seperti di langit sana, harus selalu di atas kasur bulu angsa empuk lengkap
dengan tirai-tirai menutupinya seperti tudung saji. Hanya saja, di bumi, jika
aku sakit, harus bayar. Tidak seperti di langit. Cukup minum air suci pemberian
Tuhan, semuanya normal kembali.
Aku sangat betah disini, di bumi bagian Bandung.
Beberapa orang bilang, nenek moyang ku adalah seorang pelaut yang gemar
mengarungi samudera. Ku kira itu tidak masuk akal. Mungkin itu nenek moyang
mereka, bukan aku. Buktinya, aku tidak berani meninggalkan Bandung. Kurasa, mungkin Bandung diciptakan ketika Tuhan
sedang tersenyum. Aku pernah mendengarnya dari Pidibaiq.
Aku ingin tinggal lebih lama lagi disini. Membentuk sebuah keluarga seperti yang dilakukan oleh ayahku. Sejujurnya, sampai detik ini aku masih tidak tahu siapa jodohku. Sebab katanya itu urusan Tuhan. Aku tidak boleh mencampurinya. Ya, jika sudah turun ke bumi, aku tidak bisa seenaknya naik turun langit begitu saja. Tapi seandainya bisa, aku ingin masuk ke ruang kerja Tuhan. Mengendap-ngendap, menunggu Tuhan ke kamar mandinya, lalu aku menuliskan nama perempuan yang ku inginkan menjadi jodohku.
Jadi,
saat Tuhan kembali masuk ke ruang kerjanya, Tuhan tidak sadar bahwa aku sudah
mengisi lembar jodohku sendiri.
Tapi itu hanya pengandaian saja.
Sudahlah, mari kita bahas urusan lain yang bisa kita urus saja.
Nyaris lupa, aku sangat senang ketika hari 27
november ke 23 kalinya. Sahabat-sahabatku dari langit memberiku kue yang gratis dan enak.
kue dari sahabat saya, gratis, enak |
Meskipun kue itu dihabisi oleh kawan, tapi aku
senang. Entahlah, kau tidak akan mengerti rasanya. Cobalah menjadi diriku waktu
itu. Kau pasti mengerti. Hari itu aku mendapatkan dua kue. Satu lagi dari orang
tuaku lengkap lilin umurku.
jangan kaget, ini adalah umurku di langit. |
0 komentar: