Bacalah

Sebuah Kisah Dari Telaga Hati

16.12 Wisnu Saputra 0 Comments

Aku ingat betul, di suatu malam, kau pernah berujar kepadaku. Saat mataku tertangkap basah menyangkut diantara pesonamu. Malam yang lumayan dingin. Malam yang cukup nikmat untuk kita berbincang ditemani dua cangkir cokelat kesukaan kita. Sambil mendengarkan lantunan suara hujan diluar. Kau berujar padaku, lembut.


Kudapat dari google


“Apa yang sedang matamu pikirkan?”

Sejujurnya, aku tidak ingin memberitahumu. Aku khawatir kau jadi besar kepala karenanya. Tapi tak apalah, tinggal ku hangatkan di depan bara api, nanti juga mengecil kembali.

“Kau sungguh ingin tahu?”
“Aku rasa itu bukan jawaban dari pertanyaanku.”

Jawabmu, tidak pernah lupa untuk menambatkan sebaris senyum diatas bibirmu yang mungil guna mempermanis dirimu. Membuatku menjadi gila dan ingin ku kecupi sebanyak-banyaknya.

“Baiklah, akan kuberitahu.”
“Iya.”
“Sebelumnya, apakah kau bisa berenang?”
“Hmm, kurasa tidak. Kenapa kau tanyakan itu?”
“Itu buruk sekali. Sebab, kau saat ini sedang menyelami mataku, lalu berenang di dalam hatiku.”
“Ha ha ha ha, gombalanmu lebih buruk, Keanu!”
“Aku serius! Aku ingin mengingatkan, berhati-hatilah berlayar di hatiku. Arusnya kuat. Jika kurang pandai, kau tak hanya tenggelam, melainkan hanyut bersama aliran cintanya yang kuat.”

Kau tak menjawab dengan kalimat, melainkan lagi-lagi dengan sebuah senyuman. Jawaban macam apa itu? Ku tambahkan saja segera kalimatku.

“Lenna, beberapa waktu yang lalu, aku pernah menyelami hatiku sendiri. Memastikan seberapa dalam dasarnya. Mengukur seberapa kuat arusnya. Ternyata aku tak sanggup mengukurnya. Aku gagal. Aku hanyut dan tenggelam, kau tahu, airnya mengalir dari sebuah hulu yang bermuara di sebuah telaga. Tempat segala keindahan nan bersahabat. Itulah hatimu. Itulah pemilik arus yang kuat, palung yang dalam, dan bergalon-galon air yang besar dari hatiku. Ya, aku menyadarinya. Mencintaimu begitu besar untukku, sehinggaku terhanyut oleh perasaanku sendiri.”

Aku menghela nafas satu dua jenak. Mengumpulkan beberapa pasang kata sambil mempersilahkan waktu melangkah dengan kecepatan yang sudah ditentukan sebelumnya. Lalu aku kembali meneruskan, sementara seluruh organ tubuhmu mendengarkan dengan bijaksana.

“Disana terhampar gunung dan laut, juga langit senja kemerahan yang ranum seperti anggur. Tempat segala keindahan bertengger dengan anggun. Aku mengaguminya.”
“Keanu, kamu terlalu berlebihan menilaiku.”
“Silahkan kau ber-argumen sesukamu. Aku tidak peduli, kau tidak akan sanggup menilai keindahanmu sendiri.”
“Hehehe, lanjutkan ceritamu.”

Ada cokelat yang tak lagi panas di dalam cangkir kita. Sebaiknya ku reguk sedikit untuk membasahi kerongkonganku.

“Kau tahu, aku ingin memilikimu seperti penjajah merebut tanah indah ini dari tangan pribumi. Aku bisa saja menjadi bajingan serakah seperti mereka. Namun, sayang, apalah dayaku? Aku hanya seonggok daging yang hanyut oleh arus dan bermuara dalam pesonamu, tersangkut, lalu terjebak disana.”

Lalu seperti yang kau tahu, selepas kalimat terakhir yang meluncur begitu saja dari bibirku, kau langsung menjatuhkan tubuhmu dalam dadaku. Lenganmu yang putih melingkar di leherku. Begitu hangat. Hingga ku tak sempat mengucapkan kalimat penutup cerita kita malam ini.

Oh, kepalamu tak jadi membesar tenyata setelah mendengar semua ini. Syukurlah.

Barangkali mau baca yang lain

0 komentar: