Bacalah
Sebuah Kisah Dari Telaga Hati
Aku
ingat betul, di suatu malam, kau pernah berujar kepadaku. Saat mataku tertangkap
basah menyangkut diantara pesonamu. Malam yang lumayan dingin. Malam yang cukup
nikmat untuk kita berbincang ditemani dua cangkir cokelat kesukaan kita. Sambil
mendengarkan lantunan suara hujan diluar. Kau berujar padaku, lembut.
Kudapat dari google |
“Apa
yang sedang matamu pikirkan?”
Sejujurnya, aku tidak ingin
memberitahumu. Aku khawatir kau jadi besar kepala karenanya. Tapi tak apalah,
tinggal ku hangatkan di depan bara api, nanti juga mengecil kembali.
“Kau
sungguh ingin tahu?”
“Aku
rasa itu bukan jawaban dari pertanyaanku.”
Jawabmu, tidak pernah lupa untuk
menambatkan sebaris senyum diatas bibirmu yang mungil guna mempermanis dirimu.
Membuatku menjadi gila dan ingin ku kecupi sebanyak-banyaknya.
“Baiklah,
akan kuberitahu.”
“Iya.”
“Sebelumnya,
apakah kau bisa berenang?”
“Hmm,
kurasa tidak. Kenapa kau tanyakan itu?”
“Itu
buruk sekali. Sebab, kau saat ini sedang menyelami mataku, lalu berenang di
dalam hatiku.”
“Ha
ha ha ha, gombalanmu lebih buruk, Keanu!”
“Aku
serius! Aku ingin mengingatkan, berhati-hatilah berlayar di hatiku. Arusnya
kuat. Jika kurang pandai, kau tak hanya tenggelam, melainkan hanyut bersama
aliran cintanya yang kuat.”
Kau tak menjawab dengan kalimat,
melainkan lagi-lagi dengan sebuah senyuman. Jawaban macam apa itu? Ku tambahkan
saja segera kalimatku.
“Lenna,
beberapa waktu yang lalu, aku pernah menyelami hatiku sendiri. Memastikan
seberapa dalam dasarnya. Mengukur seberapa kuat arusnya. Ternyata aku tak
sanggup mengukurnya. Aku gagal. Aku hanyut dan tenggelam, kau tahu, airnya
mengalir dari sebuah hulu yang bermuara di sebuah telaga. Tempat segala
keindahan nan bersahabat. Itulah hatimu. Itulah pemilik arus yang kuat, palung
yang dalam, dan bergalon-galon air yang besar dari hatiku. Ya, aku
menyadarinya. Mencintaimu begitu besar untukku, sehinggaku terhanyut oleh
perasaanku sendiri.”
Aku menghela nafas satu dua jenak.
Mengumpulkan beberapa pasang kata sambil mempersilahkan waktu melangkah dengan
kecepatan yang sudah ditentukan sebelumnya. Lalu aku kembali meneruskan,
sementara seluruh organ tubuhmu mendengarkan dengan bijaksana.
“Disana
terhampar gunung dan laut, juga langit senja kemerahan yang ranum seperti
anggur. Tempat segala keindahan bertengger dengan anggun. Aku mengaguminya.”
“Keanu,
kamu terlalu berlebihan menilaiku.”
“Silahkan
kau ber-argumen sesukamu. Aku tidak peduli, kau tidak akan sanggup menilai
keindahanmu sendiri.”
“Hehehe,
lanjutkan ceritamu.”
Ada cokelat yang tak lagi panas di
dalam cangkir kita. Sebaiknya ku reguk sedikit untuk membasahi kerongkonganku.
“Kau
tahu, aku ingin memilikimu seperti penjajah merebut tanah indah ini dari tangan
pribumi. Aku bisa saja menjadi bajingan serakah seperti mereka. Namun, sayang,
apalah dayaku? Aku hanya seonggok daging yang hanyut oleh arus dan bermuara
dalam pesonamu, tersangkut, lalu terjebak disana.”
Lalu seperti yang kau tahu, selepas
kalimat terakhir yang meluncur begitu saja dari bibirku, kau langsung
menjatuhkan tubuhmu dalam dadaku. Lenganmu yang putih melingkar di leherku.
Begitu hangat. Hingga ku tak sempat mengucapkan kalimat penutup cerita kita
malam ini.
Oh, kepalamu tak jadi membesar
tenyata setelah mendengar semua ini. Syukurlah.
0 komentar: